Puluhan peserta aksi demonstrasi yang menolak Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) ditangkap oleh pihak kepolisian.
Data ini diperoleh dari laporan yang diterima oleh Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) hingga malam ini, pukul 21.00 WIB.
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, mengungkapkan bahwa sekitar 20 peserta aksi penolakan RUU Pilkada telah ditangkap.
Angka ini diperoleh dari laporan yang diterima TAUD per pukul 20.00 WIB malam ini.
“Sampai saat ini, kami mencatat ada tiga orang yang mengalami luka serius akibat tindakan kekerasan oleh aparat,” ujar Andi dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (22/8).
Andi menjelaskan bahwa penangkapan terhadap massa terjadi sebelum, selama, dan setelah aksi berlangsung.
Banyak demonstran yang mengalami luka berat dan harus dirawat di rumah sakit.
Salah satu korban adalah Azmi, seorang kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor dan mahasiswa Universitas Tazkia.
Ia harus dirawat di Rumah Sakit Pelni Jakarta setelah menjadi korban kekerasan oleh aparat kepolisian saat mengikuti aksi Kawal Putusan MK.
Andi juga menyebut bahwa salah satu korban mengalami patah hidung dan memar di wajah. Selain itu, ada korban lain yang kepalanya terluka parah setelah dipukuli oleh polisi, hingga harus menerima tujuh jahitan.
Menanggapi insiden tersebut, TAUD mendesak Mabes Polri agar menginstruksikan Polda Metro Jaya dan jajaran terkait untuk membuka akses bantuan hukum bagi massa yang ditangkap.
Selain itu, TAUD juga meminta agar polisi segera membawa para korban yang masih ditahan ke rumah sakit terdekat.
TAUD juga menyerukan kepada pihak kepolisian untuk menghentikan penangkapan terhadap para peserta aksi Kawal Putusan MK.
Beberapa lembaga lain, seperti Komnas HAM, Komisi Kepolisian Nasional RI (Kompolnas), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI, LPSK, dan Komnas Perempuan, juga didesak untuk memantau kinerja kepolisian terkait kasus ini.
Diketahui bahwa koalisi masyarakat sipil, buruh, dan mahasiswa kompak menggelar aksi demonstrasi hari ini untuk menolak revisi UU Pilkada.
DPR RI semula berencana mengesahkan RUU Pilkada hari ini, namun rencana tersebut batal.
Revisi ini muncul sebagai respons DPR RI dan pemerintah atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dari sebelumnya 20 persen kursi atau 25 persen suara sah, yang kini disesuaikan berdasarkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT).