Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah lama dikenal sebagai salah satu organisasi mahasiswa terbesar dan berpengaruh di Indonesia.
Namun, seiring berjalannya waktu, dinamika internal organisasi ini, terutama dalam proses pemilihan ketua umumnya, telah menimbulkan pertanyaan kritis: apakah HMI masih menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, atau telah bergeser menjadi arena politik transaksional?
HMI: Dari Kader Intelektual ke Politik Praktis
Sejak didirikan pada tahun 1947, HMI telah melahirkan banyak tokoh nasional yang kemudian berkiprah di dunia politik. Namun, apa yang awalnya merupakan proses kaderisasi alamiah kini tampaknya telah berubah menjadi mesin politik yang terstruktur.
Pemilihan ketua umum HMI tidak lagi sekadar ajang kompetisi ide dan visi, melainkan telah menjadi miniatur pertarungan politik praktis. Namun, seiring meningkatnya kompleksitas organisasi dan berkembangnya kepentingan di dalam maupun di luar HMI, proses ini menjadi semakin rumit.
Jabatan ketua umum dianggap memiliki nilai yang sangat strategis, baik di internal organisasi maupun di ranah politik yang lebih luas. Posisi ini tidak hanya memberikan pengaruh dalam struktur organisasi, tetapi juga membuka akses terhadap jaringan politik nasional.
Bagi sebagian kader, posisi ketua umum adalah pintu gerbang menuju karier politik atau jabatan publik yang lebih tinggi. Hal ini membuat proses pemilihan menjadi ajang pertarungan kekuasaan yang sengit.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan apakah semangat demokrasi yang dianut HMI masih murni, atau justru telah dicemari oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Faktor-faktor yang Mendorong Dinamika Pemilihan
Salah satu faktor utama yang mendorong dinamika pemilihan ketua umum HMI adalah adanya faksi-faksi internal. Faksi-faksi ini terbentuk karena perbedaan ideologi, strategi, atau kepentingan pribadi di antara kader.
Masing-masing faksi berusaha memengaruhi pemilihan dengan cara membangun koalisi dan mendapatkan dukungan sebanyak mungkin.
Tidak jarang, intrik politik di balik layar terjadi, di mana janji-janji politik, tawaran jabatan, atau dukungan finansial menjadi alat tawar dalam mengamankan suara.
Selain itu, pengaruh eksternal juga kerap memainkan peran penting. Tidak bisa dipungkiri, sejumlah aktor politik atau elit nasional sering kali ikut campur dalam proses pemilihan ketua umum HMI.
Mereka melihat HMI sebagai ladang basah untuk merekrut kader-kader potensial yang kelak bisa mendukung agenda politik mereka.
Akibatnya, proses pemilihan yang seharusnya independen sering kali disusupi oleh kepentingan di luar organisasi.
Kader-kader HMI pun terjebak dalam dinamika yang tidak hanya mencerminkan aspirasi internal, tetapi juga kepentingan eksternal yang lebih besar.
Berita HMI lainnya:Â Dinamika Pemilihan Ketua Umum HMI Cabang Medan: Ketika Politik Praktis Mengancam Pengkaderan
Pemilihan Ketua Umum: Demokrasi atau Transaksi?
Pada prinsipnya, HMI seharusnya menjadi organisasi yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi, seperti partisipasi aktif, keterbukaan, dan akuntabilitas.
Proses pemilihan ketua umum, idealnya, harus menjadi cerminan dari semangat demokrasi ini, di mana setiap kader memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memilih pemimpinnya. Namun, realitas di lapangan sering kali berkata lain.
Dalam beberapa kasus, pemilihan terlihat demokratis di permukaan, dengan adanya debat kandidat dan pemungutan suara. Namun, di balik layar, banyak terjadi praktik transaksional yang merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Kandidat yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya atau dukungan dari faksi kuat sering kali memenangkan pemilihan bukan karena visi atau kompetensinya, melainkan karena kekuatan finansial atau dukungan politik yang dia miliki.
Transaksionalitas semacam ini tidak hanya mengaburkan proses demokrasi, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan di kalangan kader.
Dampaknya adalah keretakan di dalam HMI itu sendiri. Kader yang merasa proses pemilihan tidak berjalan dengan adil sering kali kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap organisasi.
Ini tidak hanya merusak moral internal, tetapi juga memengaruhi citra HMI di mata publik.
Sebagai organisasi yang memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa, praktik transaksional ini bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dipegang oleh HMI.
Indikasi Politisasi dalam Pemilihan Ketua Umum HMI
Beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa HMI telah bergeser menjadi organisasi politik praktis dapat dilihat dari:
- Patronase Politik: Tidak jarang calon ketua umum HMI mendapat dukungan dari tokoh politik atau partai tertentu, menciptakan pola patron-klien yang tidak sehat.
- Pragmatisme Kader: Banyak kader yang memandang posisi di HMI sebagai batu loncatan untuk karir politik, bukan sebagai wadah pengembangan intelektual dan kepemimpinan.
- Transaksional dalam Pemilihan: Isu money politics dan pertukaran kepentingan sering mewarnai proses pemilihan, mengesampingkan aspek kapabilitas dan integritas kandidat. Pengamat politik juga menunjukkan bahwa praktik politik uang telah menjadi budaya yang mengakar dalam proses pemilihan umum di Indonesia, termasuk dalam konteks pemilihan ketua organisasi mahasiswa seperti HMI. Hal ini menimbulkan tantangan bagi integritas dan keadilan dalam proses pemilihan
- Faksionalisasi: Terbentuknya kubu-kubu yang sering kali berkaitan dengan afiliasi politik di luar HMI, bukan berdasarkan perbedaan ideologis atau visi organisasi.
Mengembalikan Esensi HMI
Untuk mengembalikan HMI ke khittahnya sebagai organisasi kaderisasi intelektual, beberapa langkah perlu diambil:
- Reformasi Sistem Pemilihan: Menerapkan sistem yang lebih transparan dan berbasis meritokrasi.
- Penguatan Ideologi: Mengembalikan fokus pada pengembangan wawasan keislaman, keindonesiaan, dan intelektualitas.
- Pembatasan Afiliasi Politik: Membuat aturan tegas mengenai batasan keterlibatan kader dalam politik praktis.
Berita HMI lainnya:Â KAHMI dan Forhati Muaro Jambi 2024-2029 Resmi Dilantik
Penutup: Refleksi dan Tantangan Ke Depan
Fenomena penundaan pemilihan ketua umum cabang HMI yang terjadi berulang kali menjadi cermin yang memprihatinkan bagi kondisi organisasi ini.
Apa yang seharusnya menjadi proses demokrasi yang efisien dan mendidik, justru berubah menjadi ajang tawar-menawar kepentingan yang berkepanjangan.
Ironinya, organisasi yang diharapkan melahirkan pemimpin masa depan malah terjebak dalam praktik-praktik yang mencerminkan sisi gelap politik praktis.
Penundaan demi penundaan bukan hanya membuang waktu dan energi, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap kemampuan HMI dalam mengelola organisasinya sendiri.
Situasi ini memunculkan pertanyaan kritis: Apakah ini bentuk kaderisasi yang diinginkan? Jika jawabannya tidak, maka sudah saatnya bagi HMI untuk melakukan introspeksi mendalam.
Organisasi ini perlu kembali ke khittahnya sebagai wadah pengembangan intelektualitas dan kepemimpinan, bukan sekadar arena latihan politik transaksional.
Tantangan bagi para kader HMI saat ini adalah memutuskan arah organisasi ke depan. Akankah mereka terus terjebak dalam pusaran politik praktis yang mengaburkan tujuan mulia organisasi, atau akan bangkit untuk mengembalikan HMI pada jalur yang benar?
Pada akhirnya, masa depan HMI bergantung pada keberanian para kadernya untuk melakukan perubahan. Diperlukan tekad yang kuat untuk memutus rantai kebiasaan buruk dan membangun kembali budaya organisasi yang sehat.
Hanya dengan demikian, HMI dapat kembali relevan sebagai organisasi mahasiswa yang berintegritas dan berperan penting dalam pembangunan bangsa.
Artikel ini dikirim oleh Iqbal Ade Via sebagai penulis tamu. Untuk informasi lebih lanjut atau berhubungan langsung dengan penulis, Anda dapat menghubunginya melalui kontak berikut: +6281265275799.
Kirimkan tulisan Anda kedalam website HimpunanMahasiswaIslam.org secara cepat dan gratis melalui halaman Kontak.