Pemilihan umum serentak di Indonesia adalah langkah penting dalam konsolidasi demokrasi yang dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir.
Namun, persoalan yang terus diperbincangkan adalah seberapa efektif dari sisi anggaran: apakah pemilu serentak ini menghemat atau justru menguras anggaran? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat dari berbagai perspektif, mulai dari aspek keuangan negara (APBN), hukum, sosiologi, hingga pembagian anggaran di tingkat daerah (APBD).
APBN: Peluang Efisiensi atau Pemborosan?
Dari perspektif Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pelaksanaan pemilihan serentak memerlukan dana yang sangat besar.
Anggaran ini mencakup logistik, honorarium penyelenggara, biaya pengawasan, serta pengamanan. Harapannya, dengan menyatukan beberapa pemilu yang sebelumnya terpisah (pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilu kepala daerah), pengeluaran dapat diminimalkan karena banyak aspek pelaksanaan yang dilakukan secara bersamaan.
Landasan Hukum:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa setiap pengeluaran negara harus dilakukan dengan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.
Pemilu serentak sejalan dengan upaya pemerintah untuk menekan biaya penyelenggaraan pemilu secara nasional.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa pendanaan pemilu harus berasal dari APBN dan disalurkan melalui instansi yang ditunjuk, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang bertanggung jawab mengelola anggaran tersebut.
Dari segi teoritis, pemilu serentak mampu menekan biaya operasional dan logistik karena berbagai kegiatan seperti pengadaan logistik, distribusi alat pemilu, dan rekrutmen petugas pemilu dapat dilakukan hanya satu kali.
Namun, dalam praktiknya, sering terjadi pembengkakan anggaran akibat tantangan teknis yang dihadapi, seperti distribusi logistik ke daerah terpencil dan kebutuhan keamanan yang lebih besar karena dilaksanakan secara simultan di seluruh daerah.
Perspektif Hukum: Kewajiban Transparansi dan Akuntabilitas
Dari segi hukum, anggaran pemilu harus dikelola sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pengelolaan yang tidak sesuai dengan aturan hukum bisa menyebabkan pemborosan anggaran dan bahkan korupsi.
Landasan Hukum:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur tentang penggunaan anggaran pemilu yang harus dikelola dengan transparan oleh penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu.
KPU bertanggung jawab penuh terhadap semua aspek pengelolaan keuangan terkait pemilu, termasuk perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporannya.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menekankan pentingnya pengawasan dan pertanggungjawaban anggaran negara, termasuk dana yang digunakan untuk pemilu.
Lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK juga dilibatkan dalam pengawasan anggaran untuk memastikan tidak terjadi penyelewengan.
Transparansi anggaran pemilu sangat penting, karena penyalahgunaan dana publik dalam proses demokrasi seperti ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
Maka, penyelenggaraan pemilu serentak membutuhkan pengawasan ketat dari lembaga pengawas serta laporan penggunaan anggaran yang akurat dan terbuka.
Perspektif Sosiologi: Harapan Efisiensi, Tantangan Keadilan
Dari perspektif sosiologi, pemilihan serentak diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, baik dalam hal anggaran maupun waktu. Secara sosial, pemilu yang diadakan secara bersamaan juga meminimalkan kelelahan masyarakat dalam menghadapi pemilu yang terus berulang dalam waktu yang singkat.
Selain itu, pemilu serentak diharapkan mampu menyatukan perhatian dan partisipasi politik masyarakat secara lebih komprehensif.
Namun, jika anggaran yang digunakan tidak efektif atau terlalu besar, masyarakat bisa melihatnya sebagai pemborosan.
Dalam beberapa kasus, masyarakat bisa menjadi apatis atau bahkan mempertanyakan keadilan dalam distribusi anggaran, terutama jika alokasi anggaran pemilu terlihat lebih besar daripada kebutuhan penting lain seperti pendidikan dan kesehatan.
Dalam konteks sosial, efisiensi anggaran dalam pemilu serentak berpotensi meningkatkan legitimasi demokrasi di mata masyarakat.
Sebaliknya, pemborosan anggaran akan memperkuat ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik.
Penggunaan Anggaran APBD Setiap Daerah
Setiap daerah juga harus menyisihkan sebagian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mendukung pelaksanaan pemilu serentak. Anggaran ini digunakan untuk mendanai kebutuhan lokal, seperti biaya logistik di daerah, honor petugas lokal, serta pelatihan dan sosialisasi pemilu.
Jumlah anggaran yang dibutuhkan bervariasi di setiap daerah, tergantung pada jumlah pemilih, kondisi geografis, dan infrastruktur yang ada.
Landasan Hukum:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi kewenangan kepada daerah untuk mengalokasikan anggaran bagi kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam kepentingan publik, termasuk pemilu.
Bagi daerah yang memiliki APBD yang besar, penyediaan anggaran untuk pemilu mungkin tidak terlalu menjadi beban.
Namun, bagi daerah dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang terbatas, alokasi anggaran untuk pemilu bisa menjadi tantangan tersendiri, mengingat mereka juga harus mendanai kebutuhan-kebutuhan penting lain seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Berita HMI lainnya:Â HMI Komisariat STAIN Majene Pertanyakan Kinerja 100 Hari Dirut Perusda
Alokasi Anggaran Daerah: Proporsi dan Pembagian
Total anggaran pelaksanaan pemilihan serentak di setiap daerah bervariasi tergantung pada ukuran wilayah, jumlah penduduk, dan kompleksitas logistik.
Secara umum, anggaran untuk pemilihan serentak mencakup berbagai kebutuhan seperti biaya logistik, honorarium petugas, penyediaan alat-alat pemungutan suara, sosialisasi, dan keamanan.
Untuk memberikan gambaran secara umum, berikut beberapa poin tentang alokasi anggaran dalam pemilihan serentak:
1. Biaya Logistik dan Pengadaan:
Pengadaan surat suara, kotak suara, tinta, dan alat-alat lain untuk pemungutan suara biasanya memakan sekitar 30-40% dari total anggaran.
2. Honorarium Petugas Pemilihan:
Petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendapatkan honorarium. Alokasi anggaran ini bisa mencapai 25-30% dari total anggaran.
3. Sosialisasi dan Kampanye:
Kegiatan sosialisasi kepada masyarakat dan penyediaan fasilitas kampanye biasanya menghabiskan sekitar 10-15% dari anggaran.
4. Keamanan:
Biaya untuk pengamanan oleh pihak kepolisian dan tentara dalam rangka memastikan kelancaran proses pemilu bisa mengambil porsi 10-15%.
5. Pengadaan Sistem IT dan Teknologi Pemilu:
Dalam beberapa kasus, pemilu juga melibatkan sistem IT untuk proses rekapitulasi atau pemungutan suara elektronik, yang bisa menyerap 5-10% dari anggaran, tergantung pada kebutuhan teknologi yang digunakan.
Menghemat atau Menguras?
Secara teori, pemilu serentak memiliki potensi besar untuk menghemat anggaran negara karena beberapa komponen pelaksanaan pemilu bisa disatukan, sehingga biaya operasional dan logistik dapat dikurangi.
Namun, dalam praktiknya, kompleksitas pelaksanaan pemilu serentak, terutama di daerah-daerah terpencil dan dengan kondisi geografis yang sulit, justru bisa memicu pembengkakan anggaran.
Dari perspektif hukum, pelaksanaan anggaran pemilu harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, sesuai dengan aturan yang ada.
Dari perspektif sosiologi, pemilu serentak yang efisien dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi, tetapi pemborosan anggaran dapat memicu apatisme dan ketidakpuasan publik.
Dengan demikian, jawabannya adalah pemilu serentak dapat menghemat anggaran jika dikelola dengan baik dan transparan.
Namun, jika pengelolaannya tidak optimal, pemilu ini justru bisa menguras APBN dan APBD, serta mengganggu prioritas anggaran lain di daerah.
Ditulis oleh: Yuki Vegoeista, Kabid PTKP HMI Cabang Tanjungpinang-Bintan
Berita HMI lainnya:Â Kabinet Merah Putih Dihuni Banyak Alumni HMI