Persoalan tambang di Indonesia merupakan masalah yang terus berlanjut tanpa penyelesaian yang jelas.
Dalam sebuah diskusi yang diadakan pada Kamis (5/9/2024) bertema “Manifesto Pasal 33 UUD 1945 dalam Pertambangan,” Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menyoroti konflik tambang emas yang melibatkan PT MCG Tbk di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.
Hampir selama dua dekade, warga lokal yang bekerja sebagai penambang sering melakukan aksi protes kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pohuwato, yang memegang kendali di wilayah tersebut.
PB HMI konsisten menyuarakan penolakan terhadap perusahaan tambang yang dianggap merusak lingkungan dan merugikan masyarakat setempat.
Sebagai organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia, PB HMI memandang konflik tambang di Pohuwato sebagai masalah serius yang harus diawasi dengan ketat.
Dalam diskusi yang berlangsung di Sekretariat PB HMI, hadir sejumlah pimpinan seperti Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andi Kurniawan, Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Rifyan Ridwan Saleh, serta Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan Ibnu Tokan.
Dari dialog tersebut, lahir beberapa rekomendasi yang nantinya akan diserahkan kepada DPR RI, Kementerian ESDM, dan lembaga-lembaga terkait.
Rifyan menyoroti berbagai masalah hukum yang terjadi di wilayah tambang, dan PB HMI meminta Kepolisian RI, Kejaksaan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas permasalahan yang terjadi, termasuk insiden pembakaran kantor Bupati Pohuwato dan penangkapan sejumlah aktivis yang melakukan aksi.
“Kasus hukum di tambang ini harus ditangani serius, tanpa kompromi politik, agar masyarakat tidak dirugikan.
Jika perlu, bentuk satuan tugas (satgas) untuk mencegah terulangnya insiden serupa,” ungkap Rifyan.
Andi Kurniawan menambahkan bahwa kasus tambang di Pohuwato bisa menjadi contoh bagi pemerintah Indonesia untuk menertibkan perusahaan tambang yang melanggar hukum, merusak lingkungan, dan merugikan masyarakat sekitar.
Ia menegaskan, “Pemerintah harus berani bertindak tegas.
Kami merekomendasikan agar izin perusahaan tambang dicabut, karena kehadiran mereka justru membuat masyarakat sengsara, bukan sejahtera.”
Andi juga menyarankan bahwa potensi tambang di wilayah tersebut lebih baik dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat lokal melalui mekanisme Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) atau Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Jika hal ini tidak memungkinkan, maka pemerintah harus menyelesaikan ganti rugi lahan agar tidak terjadi lagi aksi unjuk rasa seperti pada 21 September 2023.
“Tambang seharusnya membawa kesejahteraan bagi rakyat, bukan sebaliknya.
Jika rakyat menderita, jangan heran bila akan muncul pembangkangan dan kemarahan, yang akhirnya berpotensi memicu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),” tambahnya.
Ibnu Tokan juga menilai bahwa konflik tambang di Pohuwato dengan jelas menunjukkan pihak yang diuntungkan dan dirugikan.
Menurut kajian mereka, yang dirugikan adalah masyarakat, sementara perusahaan justru mendapatkan keuntungan.
Ia mempertanyakan, apa sebenarnya manfaat investasi pertambangan jika hanya menyengsarakan rakyat.
Berita HMI lainnya: Pengurus Baru HMI Cabang Sidrap Resmi Dilantik untuk Periode 2024-2025
“Perusahaan tambang di Pohuwato tidak memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, malah sebaliknya.
Oleh karena itu, DPR RI harus membela rakyat dan segera bertindak,” tegasnya.
PB HMI juga merekomendasikan agar DPR RI segera mengundang semua pihak yang terlibat untuk menyelesaikan masalah ini, serta memastikan Rencana Pengelolaan Daerah (RPD) berjalan dengan baik.
Perlu diketahui bahwa dua perusahaan tambang besar di Kecamatan Buntulia, Pohuwato, yakni PT PETS dan PT GSM, anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), telah mengusir paksa para penambang tradisional dan lokal.
Masyarakat setempat sebenarnya telah mengelola lahan tambang emas tersebut jauh sebelum perusahaan hadir.
Rifyan menambahkan bahwa pemegang saham mayoritas perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah tersebut adalah konglomerat nasional.
Saat ini, pemilik saham terbesar MDKA adalah PT SRTG, yang merupakan milik salah satu menteri di Kabinet Indonesia Bersatu dengan kepemilikan sebesar 18,569 persen.
PB HMI menegaskan bahwa baik tambang legal maupun ilegal sama-sama berdampak pada kerusakan lingkungan.
Namun, pertambangan yang dikelola oleh perusahaan memiliki dampak yang lebih besar karena melibatkan pengelolaan area yang luas, dan sering kali tidak memperhatikan perlindungan lingkungan maupun kesejahteraan rakyat.
“Kebijakan pemerintah yang mempermudah izin perusahaan tambang justru membuka pintu bagi konflik agraria, termasuk di Gorontalo, daerah asal saya.
Oleh karena itu, rekomendasi yang kami ajukan perlu segera diimplementasikan,” pungkas Rifyan.
Berita HMI lainnya: PMKRI dan HMI Ende Tolak Politik Identitas di Pilkada Ende 2024